}

Terjemah

Selasa, 15 Oktober 2013

Sandal mahal seharga sepeda



“Bang kok sandalnya ditenteng? Kan anti-air?

“Sayang. Takut rusak. Nanti ga kebeli lagi.”

“Emang harganya berapa?”

“750 ribu.”

“Busyet!!!(kata temenku dalam hati)”

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala ketika temanku bercerita tentang harga sandal buaya yang sedang populer dan diburu banyak orang.

Setahun yang lalu aku sempat berkunjung ke pabrik resin di daerah Merak, Banten, PT Dow Chemicals Indonesia. Dari pabrik resin inilah material sandal tersebut dipasok. Artinya sandal tersebut tidaklah menggunakan material yang sangat canggih atau langka. Plastik/resin adalah komoditas yang harganya relatif stabil karena supply-nya selalu tersedia dalam jumlah besar.

Karena itu ketika mengetahui harga sandal tersebut yang demikian mahalnya aku sulit menemukan penjelasan komponen apa yang mengakibatkan mahalnya harga sandal tersebut. Apalagi ketika mengamati sandal tersebut yang dibuat dengan proses injection molding yang berarti proses pembuatannya adalah produksi massal dengan biaya yang sangat murah.

Bandingkan dengan sepatu kulit merek terkenal (P*k*l*l*) yang harganya berada di kisaran 400 ribuan. Kita bisa memakluminya karena di situ ada banyak proses/tahapan untuk menghasilkan sepatu tersebut. Ada craftmanship dalam sepatu itu. Seolah-olah kita sedang membeli karya seni/kerajinan tangan. Atau kita bisa membandingkannya dengan sepatu yang berharga sama dengan sandal tersebut. Misalnya sepatu sepeda merek Shimano.
Sepatu sepeda Shimano

Dulu waktu aku membeli sepeda Polygon Maverick seharga 800 ribu dan melihat sepatu sepeda Shimano seharga 750 ribu, aku berkata, “Busyet!”. Meski begitu aku bisa memakluminya karena ada banyak teknologi di dalamnya, a.l. Shimano Pedaling Dynamics, ultra fine fiber synthetics, micro adjust buckle, anti slip heel, dll. Jadi harga 750 ribu kupikir masih wajar karena kita sedang membeli produk berteknologi canggih.

Brand awareness (gengsi) orang Indonesia memang luar biasa. Produk-produk bermerek dengan harga selangit bisa kita jumpai dengan mudah. Orang merasa kurang gaul/pede jika tidak mengenakan barang-barang terbaru yang sedang ngetren, apakah itu ponsel, sandal, atau peralatan rumah tangga. Padahal seringkali barang-barang tersebut jauh dari kebutuhan dan kemampuan. Dengan alasan bisa dicicil seringkali mereka memakasakan diri untuk membeli barang-barang itu.

Yang lebih penting lagi value for money dari barang-barang tersebut sering kali tidak sebanding. Kita mengeluarkan uang terlalu banyak untuk barang-barang yang seharusnya bisa dijual dengan harga yang murah. Jadi sebenarnya yang kita beli adalah emblem, merek, gengsi yang ada dibalik merek tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar